Rabu, 26 Desember 2018

Anda Ingin Menjadi Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan? Ini Regulasinya


Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (P4) atau dulu dikenal dengan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) setelah terbitnya PP Nomor 48 Tahun 2014 keberadaannya menjadi polemik dan tidak jelas. Setelah terbitnya PP Nomor 48 Tahun 2014 tidak ada lagi P3N yang bertugas yang memiliki legalitas berupa SK dari Kementerian Agama terutama pada KUA yang bertipologi A, B dan C.

Satu-satunya aturan yang mengatur tentang Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) setelah terbitnya PP Nomor 48 Tahun 2014 adalah Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Instruksi ini hanya mengatur KUA yang bisa mengangkat P3N hanya KUA dengan Tipologi D1 dan D2.

Dengan terbitnya PMA 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan di salah satu pasalnya menegaskan tentang keberadaan Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (P4) yang selanjutnya diatur dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 977 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan memperjelas tugas dan kedudukan P4, syarat pengangkatan dan pemberhentian P4 serta solusi bagi KUA Kecamatan bertipologi A, B dan C yang kekurangan tenaga penghulu.

Tugas dan Kedudukan P4

  • P4 memiliki tugas membantu penghulu dalam menghadiri dan menyaksikan peristiwa perkawinan
  • P4 berkedudukan pada KUA Kecamatan tipologi D1 dan D2
  • Jumlah maksimal P4 pada 1 (satu) KUA Kecamatan sebanyak 5 (lima) orang

Syarat dingkat menjadi P4

Syarat seseorang untuk diangkat menjadi P4 adalah:
  • Tokoh Agama/Masyarakat
  • Laki-laki
  • Memiliki kemampuan dalam fikih munakahat
  • Berdomisili di wilayah Kecamatan tersebut
  • Memiliki kemampuan untuk melakukan pemanduan perkawinan, khutbah perkawinan dan penasihatan perkawinan

Pengangkatan dan Pemberhentian P4

Mekanisme pengangkatan P4
  • Calon P4 diusulkan oleh kepada desa/kelurahan atau perwakilan kepala desa/kelurahan kepada Kepala KUA Kecamatan
  • Kepala KUA Kecamatan mengusulkan kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota untuk ditetapkan setelah mendapat persetujuan dari Kasi Bimas Islam Kabupaten/Kota
  • Surat Keputusan Pengangkatan P4 berlaku 2 (dua) tahun, dapat disulkan kembali untuk diangkat menjadi P4
P4 diberhentikan atau dinyatakan berhenti apabila:
  • Meninggal dunia
  • Mengundurkan diri
  • Berpindah alamat diluar kecamatan bersangkutan
  • Habis masa berlaku tugasnya
  • Diberhentikan oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kab/Kota atas dasar usul Kepala KUA Kecamatan

Penugasan P4

  • Kepala KUA menugaskan P4 untuk menghadiri peristiwa perkawinan, setelah dipastikan penghulu pada KUA tersebut atau KUA terdekat tidak dapat menghadiri peristiwa perkawinan
  • Kepala KUA dalam memberikan penugasan kepada P4 harus memperhatikan aspek keadilan
  • P4 dalam melaksanakan tugas menghadiri peristiwa perkawinan mendapatkan uang honor dan transport sesuai Kepdirjen Bimas Islam Nomor 600 Tahun 2016.
Dalam hal KUA Kecamatan tipologi A, B dan C yang memerlukan tenaga tambahan untuk menghadiri pencatatan perkawinan, Kepala KUA Kecamatan dapat:
  • Mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota agar menugaskan Kepala Seksi Bimas Islam; atau
  • Menugaskan pegawai di lingkungan KUA Kecamatan dengan syarat: laki-laki dan memiliki kemampuan dalam memandu prosesi akad nikah.
Penugasan tersebut setelah dipastikan penghulu pada KUA tersebut atau KUA terdekat tidak dapat menghadiri pencatatan perkawinan. Dan pegawai yang melaksanakan tugas berhak mendapatkan uang honor dan transport sesuai dengan Kepdirjen Bimas Islam Nomor 600 Tahun 2016.

Rabu, 22 Agustus 2018

Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2018


Assalamu’alaikum sobat info bimas, Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf sudah diundangkan sejak tanggal 02 Juli 2018 lalu. Pasal-pasal yang mengalami perubahan dalam PP Nomor 25 Tahun 2018 adalah Pasal 1 angka 12, Pasal 14, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52.

Pasal 1 yang semula terdiri dari 13 angka, dalam PP Nomor 25 Tahun 2018 ditambah 5 angka sehingga total menjadi 18 angka. Penambahan tersebut terkait Kanwil Kemenag, Kantor Kemenag Kab/Kota, Tim Penetapan Keseimbangan Nilai dan Manfaat, Penilai Pertanahan dan Penilai Publik.
Pasal 14 dan penjelasannya dihapus. Pasal 14 pada PP Nomor 42 Tahun 2006 terkait dengan masa bakti nazhir yang diatur hanya 5 tahun dan dapat diangkat kembali. Dengan berlakunya PP Nomor 25 Tahun 2018 tidak ada lagi batasan masa bakti nazhir.

Perubahan Pasal 49 point yang paling pentingnya adalah adanya pemberian mandat dari Menteri ke Kepala Kanwil untuk menerbitkan izin tertulis perihal penukaran wakaf untuk tanah yang luasnya sampai dengan 5000 m2 dengan persetujuan dari BWI Provinsi.

Pasal 50 diubah yang semula terkait nilai tukar, menjadi ketentuan tentang niai dan manfaat, Tim Penetapan, Penilai, Penilai Publik dan penetapan Penilai.

Pasal 51 tentang mekanisme Izin tertulis dari Menteri dan mekanisme izin tertulis dari Kepala Kanwil serta ditambahnya Pasal 51A perihal tanah penggati.

Pasal 52 terkait pembiayaan BWI diubah yang semula bantuan pembiayaan BWI dibebankan dari APBN dan/atau APBD selama 10 tahun, menjadi Bantuan pembiayaan BWI dialokasikan pada bagian anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama melalui penetapan Menteri tanpa ada batasan waktu.

Adanya penambahan 1 Pasal antara Pasal 59 dan Pasal 60 yaitu Pasal 59A terkait proses tukar-menukar harta benda wakaf sebelum berlakunya PP Nomor 25 Tahun 2018 tetapi belum mendapat persetujuan dari Menteri.

PP Nomor25 Tahun 2018

Senin, 13 Agustus 2018

Juklak Pengelolaan Biaya Operasional KUA


Assalamu’alaikum sobat info bimas, dalam rangka pengelolaan Biaya Operasional (BOP) KUA Kecamatan secara tertib, transparan, efektif, efisien dan akuntabel Dirjen Bimas Islam menerbitkan Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor 590 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Biaya Operasional Kantor Urusan Agama Kecamatan sebagai pengganti dari Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor DJ.II/268 Tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Biaya Operasional Kantor Urusan Agama Kecamatan.

Adapun yang diatur dalam Kepdirjen Bimas Islam Nomor 590 Tahun 2018 ini diantaranya:

1. Pengelola

Pengelola BOP KUA Kecamatan adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada KUA Kecamatan yang diangkat oleh Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota atas usul Kepala KUA. Dalam hal pada KUA hanya terdapat satu orang PNS, maka Kepala KUA Kecamatan dapat ditunjuk menjadi pengelola BOP KUA Kecamatan dimana dalam melaksanakan tugasnya, pengelola BOP bertanggungjawab kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Kantor Kemenag Kabupaten/Kota.

2. Besaran Biaya Operasional KUA Kecamatan

Jika dijuknis sebelumnya, besaran Biaya Operasional (BOP) KUA Kecamatan disama ratakan yaitu sebesar Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta) pertahun, dengan terbitnya Kepdirjen Nomor 590 Tahun 2018 ini, besaran Biaya Operasional KUA Kecamatan tidak lagi dipukul rata, sehingga besaran BOP KUA dapat dirinci sebagai berikut:
  • KUA Tipologi A, besaran BOP nya adalah Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) pertahun
  • KUA Tipologi B, C, D1 dan D2 besaran BOP nya adalah Rp. 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah) per tahun

3. Penggunaan Dana BOP KUA Kecamatan

Adapaun penggunaan dari Biaya Operasional (BOP) KUA Kecamatan harus berdasarkan pada rencana kerja anggaran dan penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing KUA Kecamatan, meliputi:
  • Langganan Internet, Honor Pramubakti, ATK
  • Rapat-rapat dan Jamuan Tamu
  • Daya Listrik
  • Telepon
  • Daya Air
  • Untuk Sewa Gedung
  • Pemeliharaan Gedung
  • Pemeliharaan Peralatan dan Mesin
  • Perjadin Lokal
  • Operasional Lainnya
  • Perjalanan Dinas Biasa
Terkait dengan pengadaan tenaga pramubakti, KUA yang dapat menggunakan tenaga Pramubakti adalah KUA tipologi D1 dan D2 atau KUA Kecamatan yang jumlah SDM lebih sedikit dari pada beban kerjanya. Pramubakti diangkat oleh Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota atas usulan Kepala KUA Kecamatan dengan masa kerja satu tahun anggaran dengan besaran honor ditentukan oleh kemampuan anggaran masing-masing daerah.

4. Mekanisme Pencairan

  • Kepala KUA Kecamatan penyusun rencana anggaran BOP KUA Kecamatan dalam satu tahun anggaran dan disampaikan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
  • Pengelola BOP KUA Kecamatan mengajukan usulan pencairan BOP KUA Kecamatan setiap bulan kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dilengkapi dengan dokumen pendukung Antara lain: Rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran; Rincian kebutuhan dana; dan Surat pernyataan mengenai batas waktu pertanggungjawaban pengguna uang muka kerja dari penerima uang muka kerja;
  • PPK melakukan verifikasi atas usulan pencairan BOP KUA;
  • Mekanisme pembayaran BOP KUA Kecamatan dilaksanakan dengan cara LS kepada peyedia barang/jasa jika sudah jelas penerima dan jumlah uang yang dibayarkan. Jika pembayaran LS tidak dapat dilakukan, pemabayaran tagihan dilakukan dengan menggunakan UP kepada pengelola BOP KUA berupa uang muka kerja;
  • Bendahara melakukan pembayaran atas UP berupa uang muka kerja berdasarkan SPBy yang disetujui dan ditanda tangani oleh PPK atas nama KPA dan dilampiri dokumen seperti pada strip 2;
  • Bendahara melakukan pengujian ketersediaan dananya;
  • Dalam rangka pemberian uang muka kerja kepada pengelola BOP KUA, bendahara melakukan transfer ke rekening Pengelola BOP KUA Kecamatan (secara non tunai).
Untuk lebih jelasnya sobat bisa download Juklak Pengelolaan Biaya Operasional (BOP) KUA Kecamatan di bawah ini.

Rabu, 08 Mei 2013

Berjamaah Dalam Muamalah

Salah satu perintah utama ajaran Islam pada umatnya adalah agar membiasakan berjamaah dalam segala aktivitas kebaikan. Baik aktivitas yang berkaitan dengan ibadah mahdhah kepada Allah SWT maupun ibadah yang terkait dengan pembangunan kesejahteraan masyarakat dan bangsa, serta umat manusia secara luas (muamalah).
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” (QS al-Baqarah [2]: 43). “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS al-Maidah [5]: 2). Shalat berjamaah di masjid sebagai contoh, selain pahalanya lebih besar 27 kali lipat dibanding shalat sendirian, juga akan membangun silaturahim dan ukhuwah Islamiyah antara sesama orang yang shalat. Akhirnya, diharapkan akan menguatkan kesatuan dan persatuan. Bahkan, pada zaman Rasulullah, shalat berjamaah dijadikan sebagai medium kontrol terhadap perilaku dan keadaan sahabat-sahabat beliau. Apabila beliau selesai mengimami shalat Subuh, beliau memalingkan tubuh dan wajahnya ke arah jamaah sambil menanyakan apakah sahabatnya lengkap hadir atau tidak. Jika ada yang tidak hadir, ditelusurinya mengapa sampai tidak hadir. Yang sangat mengesankan, berjamaah ibadah di zaman Rasulullah dan para sahabat melahirkan semangat berjamaah dalam bidang muamalah. Misalnya, bidang ekonomi, politik, kepemimpinan, dan pengentasan kemiskinan, serta peningkatan kesejahteraan. Jamaah masjid pada saat itu menjadi jamaah dalam bidang ekonomi. Para jamaah akan membeli keperluan hidupnya hanya pada kios dagangan yang dimiliki oleh sesama jamaah. Akibatnya, perdagangan dan ekonomi umat berjalan secara baik dengan berbasiskan jamaah masjid. Artinya, berbasiskan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, amanah, dan kejujuran, serta tidak ada khianat dan terjadi penipuan. Terkenallah ucapan beliau, seperti dikemukakan dalam hadis sahih, “Nahnu qoumun, laa na’kulu illaa tho’aama taqiyyin, walaa ya’kulu tho’aamanaa illaa taqiyyun” (Kami adalah kaum yang tidak pernah mengonsumsi, kecuali dari makanan orang takwa, dan tidak mengonsumsi makanan kita, kecuali orang yang bertakwa). Oleh sebab itu, jelas terdapat garis ketakwaan yang menghubungkan antara produsen dan konsumen. Seyogyanya, jamaah masjid sekarang pun menjadi jamaah ekonomi umat. Tidak akan pernah jamaah bertransaksi pada perbankan, kecuali perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya, seperti asuransi syariah atau pegadaian syariah. Tidak akan pernah jamaah mengonsumsi makanan, kecuali makanan yang bersih dan halal yang diproduksi oleh sesama kaum muslimin. Hubungan antarjamaah kaum Muslimin selain dibangun atas dasar kesamaan akidah dan ibadah, juga kesamaan dalam bidang muamalah. Dan, jika ini yang terjadi, akan lahir kekuatan umat yang mampu berkontribusi di dalam pembangunan bangsa secara lebih luas. Karena itu, mari kita kuatkan berjamaah dalam ibadah dan dalam bidang muamalah.(Oleh: KH Didin Hafidhuddin)